*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok pada blog ini Klik Disini
Pada era VOC diberi kesempatan buat pemilikan lahan eksklusif yang dikenal sebagai tanah partikelir (landerien). Pada masing-masing tanah partikelir ini terdapat sejumlah kampung yg dihuni oleh penduduk pribumi, Tionghoa
![]() |
Statistik Kota Depok tempo doeloe (1861) |
Nama-Nama Tanah Partikelir Tahun 1861
Pada awal pembagian administratif Regentschappen (Kabupaten) Buitenzorg memiliki lima district (kecamatan), yakni: Buitenzorg, Paroeng, Tjibinong, Jassinga dan Tjibaroessa. Pada tahun 1861 Regentschappen (Kabupaten) Buitenzorg terdiri dari 62 tanah partikelir (landerien) dan 1.030 kampong dengan jumlah penduduk pribumi sebanyak 341.083 (lihat Statistiek der Assiten Residentie Buitenzorg, 1861).
Kota Depok yang sekarang merupakan gabungan beberapa landerien dari dua district (kecamatan): dari Distrik Paroeng sebanyak delapan landerien (Роndok Terrong, Ratoe Djaija, Depok, Роndok Тjina, Мampang, Тапа Аgong, Тjinere dan Sawangan dan dari Distrik Tjibinong sebanyak enam landerein (Tjilangkap, Tjibinong West, Tjilodong, Kaoem Pandak, Tjikempoan of Petingie dan Tjimangies).
Nama-Nama Desa Tahun 1930
![]() |
Wilayah administratif Kota Depok masa ini |
Beberapa nama desa ini pada masa kini telah dipisahkan dan masuk ke Kabupaten Bogor, seperti Bojonggede dan Tadjoerhalang. Sementara nama-nama desa (kini kelurahan) di Kota Depok semakin banyk jumlahnya karena adanya pemekaran.
Penduduk Kota Depok Masa Ini
![]() |
Distribusi penduduk Kota Depok masa ini (Diolah dari SP, 2010) |
Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa persentase etnik terbanyak adalah Betawi sebanyak 36.70 persen, kemudian disusul etnik Jawa dengan persentase sebanyak 33.07 persen. Sementara etnik Sunda di posisi ketiga persentase sebanyak 16.50 persen. Sedangkan dua etnik lainnya yang persentasenya di atas dua persen adalah etnik Batak (2.91 persen) dan etnik Minangkabau (2.66 persen).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.