Sejarah Kota Depok (15): Sejarah Pondok Cina di Tepi Sungai Tjiliwoeng; Lauw Tjeng Siang dan Situs Rumah Tua Pondok Cina
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Pondok Cina dimulai sejak adanya Land Pondok Tjina. Itu bermula sejak era VOC (Belanda). Nama Pondok Tjina tidak hanya terkenal dari masa ke masa, tetapi juga Landerien Pondok Tjina pada masa ini lokasi dimana berada Universitas Indonesia, Detos, Margo City dan Tol Cijago. Keutamaan Land Pondok Tjina di masa lampau adalah land pertama setelah batas Afdeeling Batavia/Meester Cornelis dengan Afdeeling Buitenzorg. Ibarat kata: Land Pondok Tjina di masa lampau adalah Pintu Gerbang Kota Depok pada masa kini.
![]() |
Area UI, bagian dari Land Pondok Tjina tempo doeloe |
Dalam serial Sejarah Kota Depok ini, Sejarah Landerien Depok sudah cukup banyak disajikan. Kali ini, Sejarah Landerien Pondok Tjina yang dihadirkan secara khusus. Sejarah landerien yang lainnya akan disusul kemudian, seperti: Sejarah Cinere, Sejarah Sawangan, Sejarah Cilodong dan landerien lainnya.
Di Kota Depok yang sekarang di masa lampau terdapat sejumlah land yang dimiliki orang tertentu yang disebut Landerien atau Particulier Land (Tanah Partikelir). Pusat kegiatan di Landerien tersebut berada di Landhuis, suatu area yang terdiri dari bangunan utama (landhuis) yang menjadi tempat tinggal pemilik dan lokasi bangunan lain seperti gudang, pabrik dan barak tempat tenaga kerja. Landerien yang terdapat di Kota Depok yang sekarang antara lain: Land Pondok Tjina, Land Depok, Land Pondok Terong, Land Ratoe Djaja, Land Sawangan, Land Tjinere, Land Tjimanggis, Land Tjilodong, Land Tapos.
Peta Landerien Pondok Tjina
Dalam Peta 1901, di ujung jalan Karet yang sekarang adalah lokasi Landhuis (Gedung Tuan Tanah). Beberapa bangunan dekat Landhuis ini yang besar kemungkinan adalah gudang komoditi, pabrik pengolahan, gudang/bengkel peralatan dan perlengkapan dan rumah pembantu. Juga terlihat beberapa barak tenaga kerja yang lokasinya berdekatan dengan perkampungan penduduk asli.
![]() |
Landhuis Pondok Tjina, 1901 |
Landerien yang berpusat di Landhuis ini secara teknis sejak doeloe mengusahakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi dalam skala besar. Sejak era VOC tanaman ekspor seperti tebu, indigo, kapulaga, kopi, kelapa dan sebagainya. Landhuis adakalanya memiliki pabrik pengolahan sendiri apakah produk akhir atau produk setengah jadi. Pada saat peta tersebut dibuat (1901) terlihat beberapa persil yang mengindikasikan lahan perkebunan (plantation). Persil perkebunan terlihat di area yang menjadi lahan Universitas Indonesia hingga ke Pasar Kemiri yang sekarang.
![]() |
Peta Land Pondok Tjina, 1901 |
![]() |
Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873 |
Adanya halte kereta api di Pondok Tjina, di satu sisi Land Pondok Tjina semakin berkembang dan di sisi lain akan membuat Land Sawangan lebih berkembang. Di masa lampau (era VOC) jalan dari dan ke Land Sawangan melalui Land Depok dan melalui Sringsing (Land Tandong West). Lalu kemudian (sebelum adanya halte Pondok Tjina) sudah terbentuk jalan akses dari Land Sawangan ke Land Pondok Tjina melalui Tanah Baroe. Posisi Pondok Tjina juga sangat strategis sebab sejak VOC Pondok Tjina adalah satu-satunya jalan akses ke sisi timur sungai Tjiliwong (Oosterweg) melalui (pelabuhan) sungai dengan menggunakan getek/rakit. Oleh karenanya di halte Pondok Tjina yang sudah lama menjadi simpul (interchage) akan bertambah ramai lagi dan diuga menjadi faktor penting yang menyebabkan munculnya pemukiman baru di sekitar stasion (lihat Peta 1901). Jika Landhuis Pondok Tjina selama ini sebagai hoofdplaats (ibukota) maka area sekitar stasion Pondok Tjina seakan menjadi pusat keramaian baru (pusat perdagangan/bisnis).
Untuk sekadar pembanding, seorang pembaca menulis (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-04-1866) mengatakan bahwa ‘...30 tahun yang lalu (sekitar 1836) jalan sisi barat sungai Tjiliwong disebut Westerweg (jalan barat) yang melalui Land Menting en Matraman, Tandjong West, Pondok Tjina, Depok, Tjitajam, Bodjong Gedeh, Tjiliboet, Gedoeng Badak. Namun kini lebih populer disebut Middenwerg (jalan tengah) karena di sisi barat (Westerweg) sudah muncul Pasar Baroe Doeri melalui Land Tanabang en Djati terus ke Tjinere. Gerobak atau pedati dari Tjiliboet dan Bodjong Gedeh sudah lebih sering melalui Westerweg ke Pasar Baroe Doeri...’. Meski jalur barat sudah berkembang, jalur tengah tetap ramai karena dari Buitenzorg, Tjiliboet, Bodjong Gede via Depok dan Pondok Tjina terus ke Land Menting en Djati terus ke Meester Cornelis (kini Jatinegara). Sedang dari jalur Oosterweg dari Buitenzorg melalui Tjimanggis juga menuju Meester Cornelis.
Oleh karenanya, sebelum adanya jalur (halte) kereta api, Land Pondok Tjina secara ekonomi (perdagangan) lebih penting dari Land Depok. Orang-orang dari Land Tjitajam, Land Depok dan bahkan Land Tandjong West yang bepergian ke Tjimanggis harus melalui Land Pondok Tjina. Hal ini karena ada (pelabuhan) sungai untuk penyeberangan. Sedangkan Land Depok sendiri hanya terkenal secara sosial karena telah lama (sejak VOC) menjadi pusat komunitas (gemeente) Kristen, sejak era Cornelis Chastelein. Setelah adanya kereta api, Land Depok baru berkembang yang berpusat di sekitar halte (stasion) Depok.
Lauw Tjeng Siang
Lauw Tek Lok adalah seorang yang terkenal. Lauw Tek Lok terungkap sebagai pemilik Land Tjimanggis ketika Pemerintah (militer Hindia Belanda) pada tahun 1876 bernegosiasi dengan Lauw Tek Lok, sebagai pemilik Land Tjimanggis untuk dibangun barak sementara untuk artileri negara (land een temporaire kazerne voor de artillerie op te richten) yakni semacam garnisun (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1876). Pembangunan garnisun ini untuk menambah kekuatan militer di wilayah tengah (diantara Weltevreden dan Buitenzorg). Penempatan sebuah garnisun di Tjimanggis dipicu karena sebelumnya (1860an) telah terjadi kerusuhan (semacam pemberontakan) di Land Pondok Terong (Ratoe Djaja).
Kerusuhan di Ratoe Djaja berawal dari kerusuhan sebelumnya di Bekasi (tidak jauh dari gemeente Toegoe). Setelah kerusahan di Bekasi dapat diatasi, eskalasi politik meningkat di Ratoe Djaja. Tokoh-tokoh kerusuhan di Bekasi merangsek ke Ratoe Djaja (tidak jauh dari gemeente Depok).
Land Tjimanggis kemudian sebagian beralih kepemilikan dari swasta (partikelir) ke pemerintah (militer). Hal ini dapat diketahui karena garnisun militer akhirnya terealisasi di Land Tjimanggis. Kasus yang sama sebelumnya (1873) pemerintah melalui Pengadilan Tinggi di Batavia memutuskan pembebasan lahan untuk keperluan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg para pemiliki lahan mendapat konpensasi.
Land Tjimanggis adalah salah satu land penting di sisi timur sungai Tjiliwong. Salah satu pos jalan trans-Java sejak Daendles antara Batavia dan Buitenzorg berada di Tjimanggis. Pos Tjimanggis adalah pos yang berada di tengah antara Pos Bidara Tjina di Meester Cornelis dan Pos Tjilioer di Buitenzorg. Sebagai pos yang berada di tengah, Pos Tjimanggis oleh para crew pedati/caravan dijadikan tempat bermalam baik yang dari Bidara Tjina maupun yang dari Tjiloear. Dari aspek bisnis (perdagangan) Land Tjimanggis terpenting di sisi timur Tjiliwong dan Land Pondok Tjina yang terpenting di sisi barat sungai Tjiliwong.
![]() |
Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898 |
Tidak diketahui jelas apakah pemilik Land Tjimanggis dan pemilik Land Pondok Tjina dari keluarga yang sama (dilihat dari marganya yang sama: Lauw). Kepemilikan kedua lahaan besar kemungkinan berkaitan satu sama lain karena selain kedua land bertetangga, juga satu-satunya interchage di sungai Tjiliwong hanya terdapat di kedua sisi land ini (Land Tjimanggis di sisi timur sungai Tjilwong dan Land Pondok Tjina di sisi barat sungai Tjiliwong’.
Lauw Tjeng Siang sebelumnya terkenal sebagai pedagang besar dan pelaku bisnis keuangan di Tanabang en Pasar Senen (Bataviaasch handelsblad, 04-10-1886). Lauw Tjeng Siang juga adalah salah satu pemiliki properti di Pasar Senen (Weltevreden). Bisnisnya yang paling terkenal di Pasar Senen adalah rumah pegadaian (pandhuis). Lauw Tjeng Siang juga kerap memasang iklan untuk pelelangan barang-barang tertentu, seperti poselin, rumah dan bahkan (bangunan dan lahan) pertanian.
Lauw Tjeng Siang dan Lauw Tjeng Hoeij melakukan bisnis serupa di Buitenzorg (Bataviaasch handelsblad, 30-04-1887). Lauw Tjeng Hoeij sendiri sebelumnya dikenal sebagai pelaku pegadaian di Tanabang dan Lauw Tjeng Siang sebagai pelaku bisnis pegadaian di Patjenongan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-03-1875). Lauw Tjeng Hoeij Lauw Tjeng Hoeij memiliki saudara bernama Lauw Kim Fong (Bataviaasch handelsblad, 20-04-1880).
Ini mengindikasikan bahwa Lauw Tjeng Siang sudah sejak lama berkiprah pada bisnis keuangan di berbagai tempat. Oleh karenanya Lauw Tjeng Siang sebagai pemilik Land (tanah partikeli) bukanlah hal yang luar biasa. Yang tetap menjadi pertanyaan adalah mengapa Lauw Tjeng Siang memiliki lahan di Pondok Tjina (Land Pondok Tjina). Sebab lahan di Pondok Tjina bukanlah lahan yang subur seperti di Land Depok.
![]() |
Bataviaasch handelsblad, 04-10-1884 |
Pada tahun 1902 di Land Pondok Tjina yang merupakan lahan milik Kapiten Cina, Lauw Tjeng Siang ditemukan suatu rumah untuk pencetakan uang palsu. Di dalam kasus ini tidak disebutkan apakah Lauw Tjeng Siang terlibat. Namun dengan memperhatikan rumah itu berada di lahan properti Lauw Tjeng Siang apalagi Lauw Tjeng Siang diketahui sudah sejak lama berprofesi di bidang keuangan, maka besar kemungkinan pelaku utama dalam hal ini adalah Lauw Tjeng Siang.
![]() |
Haagsche courant, 04-06-1902 |
Namun demikian, nama Lauw Tjeng Siang tetap eksis. Apakah Lauw Tjeng Siang terlibat kasus pemalsuan uang menjadi tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, Lauw Tjeng Siang tetaplah sebagai seorang pengusaha besar di bidang keuangan.
Lauw Tjeng Siang, pemilik land Pondok Tjina yang beralamat di Kampong Bali dan secara hukum memiliki jabatan sebagai Kapiten Cina dengan mendapat gaji dari pemerintah (suatu gelar atau jabatan pemimpin komunitas Tinghoa di wilayah tertentu setingkat di bawah Majoor Cina dan setingkat di atas Luitenant Cina).
Akan tetapi, Bataviaasch nieuwsblad, 18-06-1904 melaporkan bahwa Lauw Tjeng Siang telah melelang properti kantor pegadaian di Meester Cornelis senilai f 12.128. Sejak berita penjualan (pelelangan) ini nama Lauw Tjeng Siang menghilang, dan menghilang selamanya.
![]() |
Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1926 |
Asal Usul Land Pondok Tjina
Pondok Tjina, seperti halnya Sringsing, Depok dan Ratoe Djaja adalah nama-nama tempat yang sudah dicatat sejak awal. Adanya kepemilikan lahan (land) di area terjauh di hulu sungai Tjiliwong adalah Land Depok yang dimiliki oleh Cornelis Chastelein (sejak 1696). Kapan muncul lahan kepemilikan di Pondok Tjina tidak diketahui secara pasti. Adanya kepemilikan lahan di Pondok Tjina paling telat sudah diketahui pada tahun 1816.
![]() |
Bataviasche courant, 14-12-1816 |
Dari informasi ini sudah terdeteksi nama Land Pondok Tjina. Land ini menunjukkan suatu lahan di tempat dimana disebut Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji. Nama-nama ini mengindikasikan nama kampong yang terdapat di lahan tersebut. Ketiga nama ini kemudian disatukan dengan satu penyebutan sebagai Land Pondok Tjina. Oleh karena Land Pondok Tjina dan Land Tanah Baroe merupakan satu kepemilikan (oleh Jansen), maka semuanya kelak di sebut dengan nama tunggal: Land Pondok Tjina.
![]() |
Bataviasche courant, 08-09-1821 |
Rumah Tua Pondok Cina
Satu hal yang menyisakan pertanyaan adalah apakah Kapiten Lauw Cheng Siang berkaitan dengan sebuah rumah tua yang berada di Pondok Cina yang kini menjadi bagian dari halaman Margo City. Ini tentu sulit diketahui secara pasti karena sejauh ini tidak ada data dan informasi yang dapat menjelaskannya. Tentu saja untuk menjawab itu memerlukan penelusuran tersediri dengan menggunakan dokumen-dokumen pribadi yang dimiliki oleh keluarga Lauw Cheng Siang.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.