*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
Ciampea bukanlah kota kemarin sore. Sebelum kota Bogor terbentuk, Ciampea sudah menjadi kota perdagangan terpenting dalam hulu sungai Tjisadane pada era VOC. Mengapa Ciampea maju pesat ketika itu? Ciampea merupakan kota paling ujung di wilayah genre sungai Tangerang, sebagai loka utama (interchange) yang sebagai sentra transaksi utama pada sebelah barat gunung Salak. Untuk mencapai Ciampea menurut Batavia tidak dari Tjiloear (oosterweg, sisi timur sungai Tjiliwong), jua bukan menurut Depok (middenweg, sisi barat sungai Tjiliwong), melainkan dari jalan sisi barat (westerweg) mengikuti sisi timur sungai Tjisadane menurut Tangerang dan Serpong. Untuk memperkuat jalur perdagangan pada wilayah genre sungai Tjisadane ini, pasca letusan gunung Salak (1699) benteng Tangerang diperkuat menggunakan menciptakan benteng baru pada Serpong
![]() |
Benteng Serpong, Ciampea dan IPB Bogor |
Lantas bagaimana sejarah Ciampea terpinggirkan? Nah, itu dia! Kesalahan paralaksis faktor penyebabnya. Dalam artikel ini kita bangkitkan (kembali) marwah kota Ciampea, suatu surga di masa lampau yang berada di hulu sungai Tjisadane yang menyinari (membangun kemakmuran) di seluruh wilayah di sekitar Bogor Barat yang sekarang. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe dari sudut pandang (kota) Tangerang.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Fort Tangerang dan Benteng Serpong
Semasa muda dulu, selagi masih duduk di bangku kuliah, saya kerap mengajak anak muda tetangga saya jalan-jalan. Anak muda (remaja) ini asli Bogor dan dia bertindak menjadi pemandu karena bahasa Sunda saya belum ok. Dalam beberapa kali jalan-jalan di seputar tahun 1985 saya sudah mengunjungi wilayah pedesaan di Ciampea, Leuwiliang hingga Cigudeg dan Jasinga. Satu hal yang tetap teringat, setiap pembicaraan dengan penduduk yang saya lakukan (umumnya dilakukan di dangau-dangau) nama Tangerang selalu muncul bahkan lebih sering muncul nama Tangerang daripada nama Bogor.
![]() |
Ciampea dan arah pandangan ke Tangerang |
Semua itu bermula dari sistem navigasi kuno yang mengikuti kodrat alam melalui sungai (Tjisadane/Tangerang). Sistem navigasi kuno ini menjadi prakondisi awal kemajuan peradaban modern di Tjiampea. Dalam perkembangannya, orang-orang Eropa/Belanda di era VOC secara bertahap mengembangkan wilayah menyusuri sungai Tangerang/sungai Tjisadane dari Tangerang hingga ke Tjiampea. Ini dimulai pada tahun 1674 ketika Cornelis Snock mulai membuka lahan di sisi timur sungai Tangerang. Di lokasi ini kemudian dibangun benteng Tangerang (yang menjadi cikal bakal kota Tangerang sekarang).
Seiring dengan semakin banyaknya investor dari Batavia memasuki wilayah Tangerang, maka dari benteng (fort) Tangerang secara perlahan-lahan orang Eropa/Belanda merambah lahan di sisi timur sungai Tjisadane ke arah hulu hingga ke Serpong dan kemudian akhirnya mencapai Tjiampea. Dalam Peta 1724 belum teridentifikasi nama kota (kampong) Tjiampea, tetapi di Serpong sudah diidentifikasi benteng Sampoera (mengikuti nama kampong Sampoera di dekat kampong Serpong).
![]() |
Kota Tjiampea (Peta 1900) |
Berdasarkan catatan harian Kastel Batavia, keberadaan VOC/Belanda di hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane di Tjiampea sudah terdeteksi pada tahun 1713. Disebutkan benteng Tsjiaroetan (Ciaruteun) dipindahkan ke Panjoewangan (lihat Daghregister tanggal 28 Mei 1713). Catatan ini mengindikasikan bahwa benteng VOC/Belanda sudah didirikan di kampong Tjiaroeteun di pertemuan sungai Tjiaroeteun dengan sungai Tjisadane. Kampong Panjawoengan berada ke arah hulu sungai Tjiaruteun. Komandan militer di Panjawoengan ini berpangkat luitenant. Selama bulan Juni dan Juli sang luitenant mengirim beberapa surat ke benteng Tangerang. Komandan militer VOC saat itu adalah Majoor Joan van Jasinga (yang menjadi asal-usul nama kota Djasinga; setali tiga uang dengan nama kota Fort de Kock dan Fort van der Capellen pada era Pemerintah Hindia Belanda).
![]() |
Benteng, landhuis, pasar dan jembatan Ciampea (Peta 1900) |
Ciampea: IPB Membangkitkan Kembali Riwayat Kota Lama
Belum lama ini ibu kota RI telah diproklamirkan akan dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai Kartanegara. Tidak hanya ibu kota negara yang akan pindah tetapi juga Universitas Indonesia akan dipindahkan ke Kutai Kartanegara. Hal ini karena menurut undang-undang, Universitas Indonesia berada di ibu kota negara. Kerajaan tertua di Indonesia, Kerajaan Kutai berada di Kutai Kartanegara. Kerajaan yang eksis pada abad ke-4 ini berada di hulu sungai Mahakam di Moeara Kaman (kini nama kecamatan).
![]() |
Kampus IPB Bogor (Now) |
Beberapa bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara di land Tjiampea adalah prasasti Ciaruteun dan prasasti Kebonkopi. Pada era VOC dan ketika terbentuknya land Tjiampea, landhuis dibangun tidak di kampong Ciaruteun tetapi di sisi barat sungai Tjiampea (yang letaknya sedikit ke arah selatan menjauhi sungai besar (lokasi dimana kota Ciampea yang sekarang). Saat itu area kampus IPB yang sekarang termasuk (land) Tjiampea. Pada masa ini ada usulan pemekaran kabupaten Bogor dengan membentuk kabupaten Bogor Barat. Lantas apakah ibu kota yang dipilih di Ciampea? Tentu saja tidak karena sudah dipilih di Cigudeg.
Land Tjiampea: Keluarga Riemsdijk
Setelah situasi keamanan dianggap kondusif di Tjiampea, para investor mulai merintis perdagangan hingga ke Tjiampea. Siapa yang kali pertama membuka lahan di Tjiampea dan sejak kapan wilayah Tjiampea dijadikan sebagai tanah partikelir (land) tidak begitu jelas. Besar dugaan wilayah Tjiampea baru dikembangkan sebagai pusat perdagangan.
Selain perdagangan di wilayah hulu sungai Tjisadane ini ditemukan suatu kegiatan pertambangan. Disebutkan ada ketentuan tentang penambangan di gunung Parrang (Paroeng) dan gunung Pasirangin (lihat Daghregister 24 Mei 1726). Pada tahun 1730 dilaporkan Michiel Westpalm mengunjungi pegunungan Parrang dan Passirangin untuk melakukan pemeriksaan tambang (Daghregister 2 Agu 1730). Tidak diketahui aktivitas penambangan ini tetapi besar dugaan adalah penambangan kapur (untuk bahan semen).
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia dan sekitar termasuk di wilayah Tangerang. Pada tanggal 8 Oktober 1740 dua pabrik gula di Babakan dan Tjikokol telah dirusak (lihat Daghregister). Masih tanggal 8 Oktober dicatat di dalam Daghregister kelompok Cina bersenjata telah menduduki lahan Mr. Diogo di sisi de Qual (Moera Tangerang). Daghregister 8 Oktober 1740 juga mencatat adanya kerumunan berhenti di pabrik gula di Paroeng Coeda. Masih menurut Daghregister tanggal 8 Oktober 1740 (untuk mengantisipasi meluasnya pemberontakan) di Tjiampia (Tjiampea) dan Panjewongan (Penjawoengan) telah dibentengi. Dalam mengatasi pemberontakan ini pemerintah VOC/Belanda memukul balik para pemberontak yang menewaskan orang Cina tewas diperkirakan sebanyak 10.000 orang.
![]() |
Lahan milik Demang Juwitra di Dramaga (1772) |
![]() |
Land dengan verpording di daerah aliran sungai Tjisadane |
Sejak berakhirnya VOC pada tahun 1799, banyak tempat tidak terinformasikan, termasuk land Tjiampea dan land Dramaga. VOC kemudian diakusisi oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1807 disebutkan land Sampia (Tjiampea) milik van Riemsdijk dirampok dan dihancurkan oleh sekelompok perampok (lihat Daghregister, 23 Mei 1807).
Pada era Gubernur Jenderal Daendels, sejak 1808 dimulai pembangunan jalan utama (trans-Java) dari Batavia ke Anjer dan dari Batavia ke Panaroekan melalui Buitenzorg dan Tjisaroea terus ke Sumadang dan Tjirebon.
Namun tidak lama kemudian Pemerintah Hindia Belanda digantikan oleh Pemerintah Pendudukan Inggris (1811-1816). Meski Hindia Belanda telah berganti rezim, para pedagang Belanda banyak yang menetap dan meneruskan usaha-usaha pertanian mereka. Tanah-tanah partikelir secara hukum masih dimiliki oleh swasta.
![]() |
Nederlandsche staatscourant, 30-12-1815 |
Setelah kembalinya Pemerintah Hindia Belanda berkuasai berbagai kebijakan baru dibuat, selain meneruskan pembangunan jalan juga memperluas wilayah pengembangan pertanian. Salah satu upaya untuk mendukung pengembangan pertanian, pemerintah mulai melakukan pemetan-pemetaan.
Pada tahun 1819 seorang peneliti Belanda telah melakukan peninjauan terhadap sejumlah gunung termasuk gunung (berg) Tjiampea (lihat Rotterdamsche courant, 07-10-1819). Selanjutnya,
Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, pada tahun 1826 pemerintahan pusat melakukan penataan ulang pemerintahan di Afdeeling Buitenzorg (lihat Bataviasche courant, 04-10-1826). Residentie Buitenzorg dilebur ke Residentie Batavia. Di Afdeeling Buitenzorg ditempatkan seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Buitenzorg. Sejak pendudukan Inggris status Buitenzorg adalah sebuah Residentie yang dipimpin oleh seorang Residen.
Sehubungan dengan pengangkatan Asisten Resident Buitenzorg (beserta perangkatnya), juga diangkat Bupati (beserta perangkatnya, seperti kepala penghoeloe dan djaksa). Selain itu dibentuk empat district yang masing-masing dikepalai oleh seorang Demang, Keempat district tersebut adalah Tjibinong, Paroeng, Djasinga dan Tjibaroesa. Untuk distrivt Paroeng ditambahkan seorang wakil Demang. Land Tjiampea termasuk district Paroeng.
Pada tahun 1829 dilaporkan jumlah pasar yang telah dibentuk (lihat Javasche courant, 15-12-1829). Salah satu nama pasar yang disebut adalah Pasar Tjiampea. Pasar terdekat dari Tjiampea adalah Pasar Sading (Leuwiliang), Pasar Paroeng dan Pasar Buitenzorg (milik pemerintah).
![]() |
Javasche courant, 15-12-1829 |
Untuk mendukung pengembangan wilayah dan memajukan perekonomian pemerintah menetapkan kelas jalan berdasarkan beslit (lihat Javasche courant, 30-01-1836). Jalan kelas satu termasuk jalan post Batavia ke Buitenzorg hingga ke Megamendoeng terus ke Preanger dan jalan dari Batavia melalui Tangerang hingga Bantam. Jalan kelas satu (nasional) ini merupakan jalan pos trans-Java yang pembangunannya digagas pada era Gubenur Jenderal Daendels (1808-1911).
Berdasar beslit (undang-undang) ini, untuk kategori jalan kelas dua (wilayah) diantaranya adalah jalan dari Parapattan (Tjikinie) hingga Pondok Terong (land Tjitajam). Jalan kelas dua lainnya adalah dari Tangerang ke Toasia (Maoek/Teloknaga?); jalan dari Buitenzorg melalui Tjiampea dan Djasinga terus ke Bantam; dan jalan dari Buitenzorg melalui Semplak, Koeripan, Paroeng hingga ke Tangerang
Sejak adanya penetapan kelas jalan maka jalur-jalur transportasi ekonomi (perdagangan) telah bergeser dari transportasi air di era VOC menjadi moda transportasi darat. Tempat-tempat utama semakin terhubung dengan baik. Ciampea tidak lagi sepenuhnya berorientasi melalui jalur perdagangan melalui daerah aliran sungai Tjisadane/sungai Tangerang (Koeripan, Paroeng, Serpong, Tangerang) tetapi telah terbuka ke arah barat ke Banten melalui Djasinga dan lebih-lebih ke arah timur melalui Buitenzorg.
Land Tjiampea dan Land Dramaga: Keluarga van Motman
Land pertama di hulu sungai Tangerang (sungai Tjisadane) adalah land Tjiampea. Lalu kemudian dibentuk land-land baru. Salah satu land baru itu adalah land Tjiboengboelan. Namun dalam perkembangannya, land Tjiampea dan land Tjiboengboelan disatukan dengan nama land Tjiampea Tjiboengboelan (lihat kembali Javasche courant, 15-03-1834). Land Tjiampea Tjiboengboelang sungguh sangat luas. Siapa pemilik dua land yang berdekatan ini tidak diketahui apakah masih keluarga Riemsdijk atau bukan. Land ini pada masa kini terdiri dari dua kecamatan (Ciampea dan Cibungbulan).
![]() |
Javasche courant, 15-09-1841 |
Pada tahun 1841 land Tjiomas diumumkan di surat kabar akan disewakan atau dijual (lihat Javasche courant, 15-09-1841). Satu hal yang menarik dari pengumuman ini adalah bahwa batas sebelah barat land Tjiomas adalah land Tjiampea. Informasi ini menjelaskan bahwa land Tjiampea Tjiboengboelan telah dipecah kembali menjadi dua land: land Tjiampea dan land Tjiboengboelan. Informasi lain dari ini adalah bahwa batas wilayah land Tjiomas adalah land Sindang Barang atau Dramaga. Informasi ini juga mengindikasikan bahwa land Sindang Barang juga disebut land Dramaga. Pemilik terakhir dari land Dramaga adalah keluarga van Motman.
Awalnya bermula ketika Gerrit Willem Casimir van Motman (GWC Motman) ditunjuk sebagai Administrateur van de Magazynen di Buitenzorg pada bulan Maret tahun 1801 (lihat Bataafsche Leeuwarder courant, 24-10-1801). GWC van Motman datang ke Hindia pada umut 17 tahun pda tahun 1790. Pada era pendudukan Inggris saudaranya bernama Frederik Constantijn Gerrit (Frits) van Motman meninggal dunia di Batavia pada tangggal 10 Februari (lihat Java government gazette, 29-02-1812). Frits van Motman berpangkat Kolonel. Pada tahun 1812, GWC van Motman diangkat sebagai Jury within tje Jurisdiction of the Supreme Court of Justice di Batavia (lihat Java government gazette, 18-04-1812). Gerrit Willem Casimir van Motman pada 1813 membeli land Dramaga. GWC Motman sebagai Jury within tje Jurisdiction of the Supreme Court of Justice ditempatkan di Buitenzorg, Preanger Regentschappen (lihat Java government gazette, 15-01-1814).
Setelah berakhirnya pendudukan Inggris (1816), land Dramaga tetap diusahakan oleh Gerrit Willem Casimir van Motman. Ketika pemeritah Hindia Belanda kembali berkuasa mulai membentuk pemerintahan. Residen pertama yang ditunjuk di Preanger Regentschappen tahun 1816 adalah PWL van Motman yang berkedudukan di Tjiandjoer. PWL van Motman diduga adalah anak dari saudara Kolonel Frits van Motman dan GWC van Motman.
Pada tahun 1821 Gerrit Willem Casimir van Motman diberitakan meninggal dunia di Dramaga (lihat Bataviasche courant, 02-06-1821). Disebutkan GWC van Motman meninggal pada usia 49 tahun setelah sakit selama tiga bulan. GWC van Motman meninggalkan seorang istri dan lima orang anak. Berita duka ini diiklankan oleh istri alm, R(ainira) J(acoba) van Motman (terlahir sebagai marga Bangeman).
Berdasarkan stambuk keluarga, anak-anak GWC van Motman adalah Frederik Hendrik Constant van Motman (lahir di Buitenzorg 1809); Jan van Motman (1911), Pieter Cornelis van Motman (1913); Jacob Gerrit Theodoor van Motman (lahir di Karawang 1816); Willem Reinier van Motman besar dugaan anak pertama tetapi baru disahkan di Batavia 1820 (lihat Bataviasche courant, 16-09-1820). Berdasarkan sumber lain Willem Reinier lahir tahun 1803. Catatan tentang mengenai keluarga van Motman ini dapat dibaca pada website keluarga van Motman.
Rainira Jacoba van Motman menjadi single parent, anak-anaknya terbilang masih kecil-kecil yang tertua baru berumur 11 tahun dan yang paling kecil masih berusia lima. Rainira Jacoba van Motman harus berjuang sendiri membesarkan lima anak dan juga mengusahakan land Dramaga.
![]() |
GWC van Motman dan rumah keluarga van Motman |
Setelah anak-anak Rainira Jacoba van Motman mulai dewasa, keluarga van Motman menyewa land Tjiampea. Petani tetaplah petani. Lahan yang diusahakan semula hanya sebatas land Dramaga, lalu diperluas dengan menyewa land tetangga, land Tjiampea. Lokasi land Tjiampea lokasi paling strategis di hulu sungai Tjisadane, berada di pertigaan jalan utama: ke utara ke arah Paroeng dan Tangerang; ke timur ke arah Tjiomas dan Buitenzorg; dan ke barat ke arah Djasinga dan Banten. Land Tjiampea adalah matahari di sebelah barat daya Batavia.
![]() |
Kecamatan Ciampea dan Kecamatan Ciomas (Now) |
![]() |
Bangunan pemakaman keluarga van Motman (Now) |
Tiga bersaudara van Motman secara perlahan telah menjadi petani (farmer) yang sukses. Tiga bersaudara ini membangun kantor di Tjiampea, berada di tengah di antara land Dramaga (warisan ayah mereka yang diusahakan sang ibu) dan land Sading Djamboe. Land Sading Djamboe dan land Tjoeroek Bitoeng diduga sebelumnya juga telah dimiliki oleh GWC van Motman dan terus dipertahankan. Hal inilah yang diduga mengapa terdapat komplek pemakaman keluarga van Motman di land Sading Djamboe (kini kecamatan Leuwisadeng). Land Bolang sendiri (tetangga land Sadeng Djamboe dan land Tjoeork Djamboe) pernah dimiliki keluarga van Motman namun pada tahun 1860 land tersebut dijual, karena alasan ingin membeli land Kedong Badak.
Pada masa dimana IF Witt menyewa land Tjiampea telah terjadi pelanggaran. Disebutkan bahwa karena kesulitan banyak penduduk yang coba mencuri sarang burung di pegunungan kapur (Vogelberg) di land Tjiampea. Mereka yang tertangkap lalu dibunuh dan mayat-mayat mereka disembunyikan di dalam salah satu gua yang sulit dijangkau. Pada era penyewaan Tan Ling jejak pembunuhan ini tidak terdeteksi. Baru pada era penyewaan keluarga van Motman jejak-jejak mayat yang disembunyikan itu diketahui pada tahun 1856.
![]() |
Foto jembatan van Motman dan gunung Salak (1910) |
Pada tahun 1866 land Tjiampea, land Tjiboengboelan dan land Sading telah berakhir kontrak sewa yang dilakukan FHC van Motman. Pemilik land, suatu kongsi yang terdiri dari Ament, van de Graaff dan POW Amenaet akan menyewakan land Tjiampea, land Tjiboengboelan dan land Sading (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-09-1866).
![]() |
Lahan demang (1772) dan peta landhuis Dramaga lama (1906) |
![]() |
Peta 1906 dan peta satelit masa ini |
Tidak diketahui secara pasti siapa yang kemudian menjadi penyewa land Tjiampea, land Tjiboengboelang dan land Sading atau Panjawoengan. Yang jelas land Dramaga masih tetap diusahakan oleh keluarga van Motman. Dalam perkembangannya tigab land tersebut diketahui telah disewa oleh P te Cate sebesar f200.000 (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-03-1870). Pusat land (landhuis) Dramaga telah dipindahkan dari dekat jalan raya (sisi selatan) ke lokasi yang sedikit jauh di utara jalan raya. Namun dalam perkembangannya diketahui kembali keluarga van Motman menyewa tiga land tersebuit sejak tahun 1882 untuk lima belas tahun. Namun keluarga van Motman pada tahun 1886 melepaskan hak penyewaan tiga land ini karena meningkatnya nilai verponding yang ditetapkan oleh pemerintah.
![]() |
Area kampus IPB dan landhuis Dramaga baru (Peta 1906) |
Lokasi landhuis Dramaga yang baru ini (masih menurut Peta 1906) dapat diidentifikasi lokasinya kemungkinan besar berada di dalam kampus IPB yang sekarang, kira-kira berada di lokasi dimana kini Teaching Lab IPB dibangun (dekat asrama putri). Gedung Teaching Lab IPB mengambil bentuk gedung IPB yang lama di Baranangsiang.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com