Sejarah Tangerang (33): Kronologis Sejarah Tangerang, Terbentuknya Kota Tangerang; Dari Jaman Portugis Hingga Era NKRI
*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Tangerang merupakan keliru satu daerah yang catatan sejarahnya terang benderang. Cukup banyak data tertulis yg mampu diakses pada masa ini. Demikian juga sejarah terbentuknya kota Tangerang, datanya cukup tersedia yg sanggup diurutkan secara kronologis. Begitu kayanya data sejarah daerah Tangerang
Artikel ini berisi susunan kronologis yang memuat sari sejarah Tangerang dan kota Tangerang. Sejarah Tangerang dan kota Tangerang dalam kronoligi ini hanya mendaftar hal yang penting-penting saja. Penting dalam mendukung kronologis sejarah yang lengkap (bersifat kontinu). Untuk itu mari kita mulai dari nama Tangerang sendiri.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Nama Tangerang Kali Pertama Dicatat Joao de Barros (1527)
Nama Tangerang sudah ada sejak lama, bahkan sebelum terbentuknya Kerajaan Jacarta dan Kesultanan Banten. Ini merujuk pada laporan seorang Portugis, Joao de Barros di dalam laporannya (1527) yang menyebutkan di pantai utara Jawa terdapat tujuh pelabuhan penting, yakni: Chiamo, Xacatara, Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang dan Bantam. Penulis-penulis geografi Belanda mengidentifikasi Chiamo sebagai Tjimanoek (Indramajoe), Xacatara sebagai Jacatra, Caravam sebagai Karawang, Tangaram sebagai Tangerang, Cheguide (Tjikande), Pondang (Pontang) dan Bantam (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1906, 01-01-1906).
Peta-peta awal tentang Hindia Timur dibuat olej orang-orang Portugis. Peta-peta Portugis masih tampak sederhana seperti peta tertua tahun 1525. Pada peta yang dibuat oleh ekspedisi Cornelis de Houtman (1595-1597) yang diterbitkan tahun 1598 peta Sumatra dan peta Jawa sudah lebih detail tentang nama-nama tempat di pantai. Peta ini merupakan peta tertua yang dibuat oleh Belanda. Peta 1524 (Portugis). Peta-peta ini terus diperbarui dengan bertambahnya ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh VOC/Belanda.
Pelabuhan-pelabuhan ini diduga tempat interaksi (perdagangan) para pedagang dari seberang lautan (seperti India, Persia, Arab, Tiongkok, Melayu) dengan para pedagang dari pedalaman (Kerajaan Pakwan-Padjadjaran). Pelabuhan-pelabuhan ini sudah barang tentu sudah eksis jauh sebelum kedatangan Joao de Barros. Sebelum kedatangan orang Eropa (Portugis dan Sepantol), perairan Jawa sudah menjadi pusat lalu lintas perdagangan dari barat di India dan timur (Tiongkok).
![]() |
Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1906 |
Pada saat kedatangan ekpedisi pelaut/pedagang Belanda (1595-1597), dalam laporan pemimpin ekspedisi Houtman tidak menyebut nama-nama tersebut kecuali pelabuhan Banten dan Soenda Kalapa (lihat Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ...1598). Banten dan Soenda Kalapa saat itu sudah menjadi pelabuhan penting dari dua kerajaan (Banten dan Jacatra). Batas antara dua kerajaan ini berada pada titik (demarkasi) di pulau Oentoeng Djawa (Belanda: Ontong Java) dan sungai Tangerang/sungai Tjisadane.
![]() |
Sumatra (Peta 1598) |
Sejak itu, orang-orang Belanda dengan intens memetakan secara detail setiap sisi dan sudut geografis. Peta-peta tersebut berbeda dengan yang kita lihat sekarang melalui googlemap. Satu sudut geografis yang penting yang telah dipetakan oleh orang Belanda/VOC adalah wilayah sekitar pulau Ontong Java dan muara sungai Tangerang. Sebagaimana diketahui sejak 1667 muncul kebijakan baru VOC/Belanda untuk menjadikan penduduk sebagai subjek.
Muara sungai Tangerang berada di dalam sebuah teluk, dimana di dalam teluk digambarkan terdapat sejumlah pulau-pulai sedimem. Kampong Moera ini pada masa ini terkesan berada di daratan (pedalaman), tetapi pada masa lampau lokasinya berada di pantai. Peta muara sungai Tangerang ini pada peta termuda (1690) masih relatif sama dengan gambaran peta-peta terdahulu. Tiga kampong yang teridentifikasi di teluk ini adalah kampong Moera di muara sungai yang diduga dihuni orang-orang Tionghoa. Di sepanjang pantai ke arah timur, kampong kedua adalah kampong Malajoe (diduga perkampungan orang Melayu) dan kampong yang ke arah timurnya lagi adalah kampong Tegal Angoes (yang diduga dihuni oleh orang Jawa). Satu informasi penting dari Peta 1690 ini adalah sungai yang mengarah ke utara adalah cabang sungai Tangerang (spruit Tangerang). Peta 1619
![]() |
Palisade (benteng) Tangerang, 1701 |
Cornelis Snock yang memulai eksploitasi dan okupasi di daerah aliran sungai Tangerang menyadari hubungan VOC/Belanda dengan Kesultanan Banten yang pasang surut, untuk menjaga keberadaannya dan para pekerja membangun palisade yang terbuat dari kayu dan bambu. Kelak palisade ini dibangun permanen yang kemudian dikenal sebagai benteng (fort) Tangerang (cikal bakal kota Tangerang).
![]() |
Peta 1690 |
![]() |
Pulau Ontong Java (Peta 1700) |
Sultan Tirtajasa membangun kekuatan dengan berkolaborasi dengan Inggris dan Denmark. Sultan Titajasa ingin kembali ke kraton dan hubungan antara Inggris dan Belanda juga tidak kondusif. Akhirnya kraton Banten dapat diduduki 1680. Sang anak (Sultan Hadji) tersingkir. Saat inilah Sultan Hadji melalui penasehatnya orang Belanda (Cardeel) meminta bantaun Belanda/VOC di Batavia. Namun pasukan yang dikirim dari Batavia yang dipimpin Kapitain Jonker gagal dan terbunuh. Anakbuahnya yang masih hidup ditawan, termasuk Letnan Moody.
![]() |
Kampong Baroe, Tangerang, 1706 |
Sejak selesainya kanal Mookervaart pada tahun 1687 dan situasi dan kondisi keamanan yang semakin kondusif di district Tangerang (yang sudah diperluas hingga batas sungai Tjikande), maka pedagang-pedagang Eropa/Belanda semakin banyak yang membuka lahan dari benteng Tangerang hingga ke sisi barat sungai dan ke daerah hulu sungai Tjisadane/sungai Tangerang hingga ke Serpong. Untuk mendukung keamanan yang prima, VOC/Belanda meningkatkan benteng Tangerang tahun 1695 dan juga membangun benteng baru di Sampoera (Serpong). Adanya benteng Sampoera di Serpong, pedagang VOC/Belanda juga semakin jauh membuka lahan hingga Tjiampea.
![]() |
Peta 1724 |
Lalu lintas Batavia-Tangerang menjadi terpusat di kanal Mookervaart. Lalu lintas via sungai Tjisadane/sungai Tangerang semakin sepi. Hal ini karena sungai Tangerang/sungai Tjisadane di hilir telah mengalami pendangkalan (dampak letusan gunung Salak) Lebih-lebih muara sungai telah bergeser dari kampong Moeara (lama) ke arah timur, yang lebih dekat dengan pulau Onrust (jalur sungai ini membentuk jalur utama sungai Tangerang; sedangkan jalur yang kearah utara menjadi cabang sungai atau spruit). Persoalan yang muncul adalah navigasi pelayaran sungai menjadi semakin jauh (antara pantai dan benteng Tangerang).
Pada satu sisi jalur pelayaran ke Batavia (atau sebaliknya), kanal Mookervaart semakin berkembang, pada sisi lain jalur pelayaran ke Batavia melalui sungai, via kampong Moeara (baru) semakin sepi. Pada dua sisi jalur kanal Mookervaart berkembang land-land baru yang dimiliki oleh orang Eropa. Sedangkan pada sisi selatan hilir sungai Tangerang hingga kampong Moeara (baru) berkembang pemukiman-pemukiman baru pribumi. Mengapa sisi selatan hal itu karena di hilir sungai Tangerang hanya sisi selatan yang terbilang kering, sedangkan sisi utara yang merupakan delta bersifat basah dan kerap mengalami banjir.
Kampong-kampong yang berkembang di sisi selatan hilir sungai Tangerang, selain kampong Teloknaga, kampong Malajoe dan kampong Tagal Angoes, juga muncul perkampongan baru seperti kampong Lemo, kampong Moeara (baru) dan kampong Pangkalan dan sebagainya. Jalur navigasi sungai di sepanjang hilir sungai Tangerang ini terus berkembang (utamanya bagi orang-orang Tionghoa dan pribumi).
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang Cina terutama di Batavia. Pemerintah VOC melakukan perang frontal yang justru mengarah kepada genosida. Lebih dari 10.000 orang Cina terbunuh. Perlawanan orang Cina tidak hanya di Batavia, tetapi juga di Bekasi dan Tangerang,
Mereka ini adalah imigran dari Tiongkok yang didatangkan oleh para pedagang VOC dalam industri gula. Sementara itu orang-orang Tionghoa sudah ada sejak lama. Orang-orang Tionghoa bahkan sudah ada yang membuka kampong di dekat Depok (kini dikenal sebagai Pondok Cina).
Berdasarkan catatan harian Kasteel batavia, Orang-orang Cina yang berada di Batavia yang masih selamat dari kejaran militer VOC/Belanda banyak yang melarikan diri ke Tangerang. Mereka ini mengumpul di Kadaoeng (kini berada di kecamatan Neglasari, Tangerang) dan Moeara (de Qual). Mereka yang berada di daerah aliran sungai Tangerang ini tidak lagi ‘diburu’ oleh militer tetapi hanya dilokalisir dan diawasi. Mereka yang mengumpul di Kadaoeng diduga orang-orang Tionghoa yang berada di Tangerang sedangkan yang mengumpul di Moeara de Qual (kini desa Muara) diduga yang melarikan diri dengan perahu dari Batavia. Para imigran Cina yang terus menetap (tidak kembali ke Tiongkok) diduga kemudian berbaur dengan orang-orang Tionghoa yang berada di daerah aliran sungai Tangerang. Populasi orang-orang Tionghoa di daerah aliran sungai menjadi bertambah.
![]() |
Muara (Teluknaga), Kedaung (Neglasari) dan Tangerang |
Setelah tragedi 1740, pemerintah VOC/Belanda mulai memulihkan situasi dan kondisi orang-orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa di daerah aliran sungai Tangerang dipusatkan di sekitar benteng Tangerang. Untuk memudahkan pengawasan terhadap mereka, pemerintah VOC membuat kebijakan bahwa orang-orang Tionghoa dikumpulkan dalam satu perkampongan yang khusus di Tangerang. Perkampongan ini berada di sebelah selatan benteng Tangerang. Sementara area pemukiman orang-orang Eropa.Belanda berada di sekitar benteng. Perkampongan (kampement) orang-orang Tionghoa ini menempati kampong Baroe (kampong yang sudah sejak lama ditempati oleh orang-orang Sulawesi seperti dari Makassar.
Pada era pemerintah Hindia Belanda para pemilik land mulai diizinkan untuk membangun pasar. Pemilik land Tangerang membangun pasar di dekat kampement Tionghoa. Pasar inilah yang kemudian menjadi pasar Tangerang (masih eksis hingga ini hari).
Era Perkembangan Tanah-Tanah Partikelir
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com